Suatu
kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri melainkan berdampingan bahkan
berkelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Hubungan terjadi
berkenaan dengan hubungan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat
dipenuhi sendiri.Kebutuhan manusia tersebut bermacam- macam dan untuk
pemenuhannya tergantung dari hasil yang diperoleh dalam daya upaya yang
dilaksanakan. Agar tidak terjadi benturan – benturan di dalam pelaksanaan
pemenuhan tersebut maka dibuat ketentuan – ketentuan dan aturan – aturan yang
wajib dipatuhi dan dilaksanakan seluruh lapisan masyarakat.
Ketentuan – ketentuan dan aturan
– aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat
itu dikenal dengan nama Hukum. Didalam tulisan ini akan dikhususkan
membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari pandangan hukum
Peradilan Umum dan Peradilan Militer di dalam rumah tangga prajurit TNI. Penerapan
ketentuan dalam Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah
dilakukan dalam beberapa kasus. Namun kendala masih muncul di beberapa kasus
lain. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) melaporkan adanya beberapa kasus KDRT dalam keluarga
prajurit. Namun kasus KDRT di lingkungan prajurit banyak yang tidak sampai di
Peradilan Umum karena masih kentalnya kekuatan Hukum
Militer dimana Ankum langsung dari prajurit masih memegang kekuasaan untuk
memutuskan. Berdasarkan pantauan LBH menyebutkan, selama 2004-2007 telah
mendampingi 16 kasus KDRT yang semua tersangkanya anggota militer. Dari 16
kasus tersebut semuanya dihukum administratif kesatuannya. Seperti penundaan
kenaikan pangkat, atau pemecatan.Kasus itu tidak sampai ke meja persidangan,
karena terhenti di tingkat penyidikan di kesatuan. Penyebab lantaran ada
kewenangan atasan langsung untuk melakukan penyidikan serta sahnya hukuman
disiplin militer untuk kasus-kasus tertentu. Kenyataan ini bertolak belakang
dengan proses hukum di Peradilan Umum. Jika dibawa ke Peradilan Umum, tersangka
bisa dihukum lebih berat lagi. "Masalah ini juga tergantung dari
penyidiknya. Mereka yang menentukan apakah kasus ini dibawa ke peradilan umum
atau cukup pada sanksi administratif saja.
Seorang istri tentara juga punya hak sama di depan hukum seperti layaknya
istri-istri masyarakat sipil lainnya. Para istri berharap hukuman yang
dijatuhkan atasan ke suaminya sama seperti yang ada diterapkan di Peradilan
Umum.Pemisahan proses di Peradilan Militer dan Peradilan Umum sering
menimbulkan masalah. Banyak pendapat di kalangan
prajurit TNI mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga istri tentara tidak
perlu diajukan ke Peradilan Umum. Kecuali pelanggaran itu dilakukan terhadap
orang sipil lain di luar anggota keluarganya. Maka yang bersangkutan bisa
diajukan ke peradilan umum Sebab, istri tentara merupakan bagian dari Keluarga
Besar TNI. Sehingga cukup disidik intern TNI dalam hal ini provoost atau bisa
juga Polisi Militer. Didasarkan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM). Kitab ini menyatakan, kasus semacam KDRT bisa diselesaikan secara
intern. Tanpa perlu diserahkan kepada peradilan umum, sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 ayat 11. Ketentuan ini mengatur penyidikan dan hak atasan
menghukum, serta pejabat polisi militer tertentu, misalnya Denpom, Pomdam,
Puspom, Mabes, Irjen, dan oditur (jaksa) yang diberi wewenang khusus untuk
melaksanakan penyidikan.Hal serupa diatur juga pada Bab I ayat 9 yang menyebutkan
kewenangan atasan dalam memberikan hukuman disiplin militer berdasarkan
Undang-undang yang berlaku. Dua aturan itu semakin diperjelas lagi oleh
keberadaan bab IV dalam KUHPM, yang mengatur tentang Penjatuhan dan Pelaksanaan
Hukuman -hukuman Disiplin Militer dan penahanan.Pengamat hukum pidana Rudi
Satryo Mukantardjo pernah mengusulkan agar kasus semacam ini tidak hanya bisa
dilakukan dengan ketentuan militer. Ia mengusulkan agar ditempuh peradilan
koneksitas, apabila pelanggaran itu dilakukan oleh militer dan sipil. Menurut
Rudi untuk beberapa kasus tertentu prosedur seperti itu dapat membentuk
imunitas bagi anggota militer.
Sebelum
masuk lebih dalam ke topik bahasan ada baiknya kita mengetahui bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945), karena itu, segala
sesuatunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Beberapa kejanggalan dari hukum yang terkait dengan proses
pembentukan RUU Peradilan Militer meliputi :
1.
Bahwa salah satu dasar pemikiran dalam penyusunan RUU PM adalah kepastian hukum
yang sama seperti jika tersangka adalah orang sipil. Selama ini, sebagian
masyarakat beranggapan bahwa anggota TNI “kebal hukum” jika melakukan suatu
tindak pidana, karena adanya “perlindungan” dari komandannya (Ankum). Anggapan
itu adalah salah, karena :
a) Sesuai pasal 5 (3) &
(4) UU Hukum Disiplin Prajurit 1997 jo pasal 123 s/d 126 UU PM 1997, maka untuk
anggota TNI yang melakukan tindak pidana ringan saja (pelanggaran), maka tetap
bisa ditindak, baik dikenai sanksi berupa hukuman disiplin ataupun penyerahan
perkara ke Pengadilan Militer
Contoh : Anggota TNI yang melakukan pelanggaran
lalu-lintas, tetap biasa ditindak melalui penjatuhan hukuman disiplin prajurit
oleh Ankumnya.
b)
Bahwa anggota TNI selain tunduk pada KUHP, juga tunduk pada KUHP
Tentara. Dalam hal ini, KUHPT adalah sebagai penambah KUHP. Pada KUHPT, tidak
ada ketentuan tentang tindak pidana yang sanksinya ringan yang bisa
diselesaikan dengan hukuman disiplin prajurit sesuai KUHDT 1997, jadi semua
anggota TNI yang terbukti melanggar KUHPT, pasti juga dikenai sanksi pidana
melalui putusan Hakim di Pengadilan Militer yang berwenang. Tetapi jika anggota
TNI melakukan pelanggaran-pelanggaran yang diatur dalam KUHP, maka penjatuhan
sanksinya bisa berupa hukuman disiplin oleh Ankumnya atau putusan pemidanaan
oleh Hakim di Pengadilan Militer. Sekali lagi, anggota TNI dan orang sipil
adalah sama-sama tidak kebal hukum, hanya berbeda saja prosedurnya.Hukum
militer kita saat ini sudah cukup menjangkau tindak pidana yang dilakukan oleh
prajurit TNI.
2.
Sesuai pasal 64 dan penjelasannya UU TNI, maka hukum militer dibina &
dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan negara. Karena
itu, apakah ketentuan-ketentuan dalam RUU PM sesuai dengan semangat dalam pasal
64 dan penjelasannya di UU TNI, maka akan menimbulkan beberapa pertanyaan yang
meliputi :
a)
Apakah dengan diadilinya anggota TNI di Peradilan
Umum, bermanfaat untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara ?
b)
Apakah dengan diadilinya anggota TNI di Peradilan
Umum, akan bermanfaat bagi pelaksanaan pasal 6 – 11 UU Nomer 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara ?
c)
Apakah dengan tidak diadilinya anggota TNI di
Peradilan Umum, akan merusak prinsip-prinsip penyelenggaraan pertahanan negara
sesuai alinea 3 Penjelasan Umum UU Pertahanan Negara ?
d)
Apakah dengan tidak diadilinya anggota TNI di
Peradilan Umum, akan merusak prinsip demokrasi dan HAM ? Tidak, karena anggota
TNI yang melakukan pelanggaran HAM pasti saat ini juga akan diadili dengan UU
HAM di PM sesuai UU Nomer 31 Tahun 1997.
Untuk menjawab pertanyaan–pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita lihat
organisasi Pengadilan Militer yang sekarang. Berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman
2004, organisasi Pengadilan Militer berada di bawah MA. Ini sudah menunjukkan
supremasi sipil. Jika RUU PM tidak ada manfaatnya untuk kepentingan
penyelenggaraan pertahanan negara, maka tidak perlu disetujui oleh pemerintah.
Justru yang tampak sekarang adalah RUU PM akan merusak asas kesatuan komando
sesuai pasal 69 (1) huruf a UU 31 / 1997, karena adanya ketentuan dalam RUU
Pengadilan Militer akan menghilangkan tanggung jawab Komandan terhadap
bawahannya. Hal ini sangat berbahaya bagi psikologis prajurit TNI, apalagi di
saat perang.
Jadi pada dasarnya RUU Pengadilan Militer sudah dapat mengatur tata hidup
prajurit dan keluarga besar prajurit itu sendiri tanpa ada lagi benturan antara
Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer. Namun karena berbagai problem dalam
keluarga yang salah satunya menurut penelitian adalah masalah keuangan dan perselingkuhan
yang marak di kehidupan prajurit TNI sehingga menimbulkan ketidak harmonisan
bahkan mengarah ke kekerasan dalam rumah tangga.
Semoga melalui tulisan ini kita sebagai insan prajurit
TNI khususnya TNI AU dapat lebih mengerti dan memahami tentang hukum yang
mengatur tentang KDRT sehingga dapat mengurangi kasus KDRT dalam kehidupan
prajurit bahkan tidak terjadi lagi KDRT di lingkungan prajurit TNI.
mantap pisan euy....
BalasHapuspak..mau tanya bagaimana kalo bagi PNS TNI???
BalasHapusmau tanya... apakah dengan perceraian... suami sbg anggota TNI tidak berkewajiban memberikan nafkah (materi/immateri) untuk anak-anaknya...??? trima kasih.
BalasHapusMau tanya... apakah dengan adanya perceraian, kewajiban suami sbg anggota TNI memberikan nafkah utk anak2nya juga sudah gugur...? Sementara, si istri belum menikah lagi... Mohon penjelasannya. trims.
BalasHapus